Kamis, 21 Januari 2010

Ngemplang Pajak

Membayar pajak bagi seseorang adalah satu beban yang harus dihadapi. Ketika pertanyaanya" Mau Bayar Pajak Besar atau Kecil? Jawaban yang terlontar adalah Kecil", dan ketika jpertanyaannya: "Mau bayar pajak kecil atau tidak sama sekali? Jawabannya pasti serempak, TIDAK". karena intinya tidak ada satu orang pun yang rela membayar pajak. Namun, membayar pajak adalah satu keharusan/kewajiban yang melekat pada setiap orang yang sudah berpenghasilan. Bahkan untuk jenis pajak pertambahan nilai (PPN), akan terkena pada setiap orang sekalipun tidak berpenghasilan karena PPN sifatnya tidak mengenal objek pajak.

Kalau pajak tidak bisa dihindarkan lagi dalam kehidupan setiap orang, masyarakat harus menyikapinya dengan benar. Hindarkan cara berpikir untuk menghindari pajak atau mengemplang pajak. Bisa dikatakan bahwa para pengemplang pajak adalah kelompok orang yang tidak mencintai negeri ini. Bahkan pengemplang pajak bisa disebut telah menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat.

Apa feedback dari pembayaran pajak itu sendiri ada? Sehingga Wajib Pajak tidak pernah mau membayar pajak. Jawabannya sudah bisa dilihat secara langsung, apakah ada perubahan atau tidak dilingkungan masyarakat. Misalnya, perbaikan jalan atau pembangunan fasilitas pelayanan publik umum lainnya. Nah, apabila hal itu tidak bisa dilihat secara langsung sebenarnya siapa yang salah?

Yang jadi pertanyaan adalah, apakah manfaat dari pembayaran pajak itu merata atau hanya berada di wilayah patuh pajak saja? karena logikanya daerah yang terpencil tidak mungkin membayar pajak hanya mengandalkan dari pertanian milik mereka sehingga dikategorikan tidak ada pemasukan untuk pajak.


Jawabannya kita berbalik kembali kepada para pengemplang pajak, kalau pajak tidak bisa dihindarkan lagi dalam kehidupan setiap orang, masyarakat harus menyikapinya dengan benar. Hindarkan cara berpikir untuk menghindari pajak atau mengemplang pajak. Bisa dikatakan bahwa para pengemplang pajak adalah kelompok orang yang tidak mencintai negeri ini. Bahkan pengemplang pajak bisa disebut telah menggagalkan upaya negara untuk menyejahterakan rakyat.

Sebagai gambaran, penduduk miskin masih cukup banyak di negeri ini. Tahun 2000 misalnya ada sebanyak 38,7 juta dan pada 2005 turun menjadi 35,10 juta. Namun, pada 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin menjadi 39,30 juta. Lalu pada Maret 2007, masih sekitar 37,17 juta.

Tahun 2009 ini, penduduk miskin masih berada pada angka 34 juta. Artinya, dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebanyak kurang lebih 230 juta, sekitar 14,78% nya adalah jumlah penduduk miskin. Sehingga pertanyaannya, apa hubungannya penduduk miskin dengan pengemplang pajak?


Jawabannya, Intinya Pajak adalah salah satu sumber penerimaan negara, dan itu telah menjadi kesepakatan bersa ma. Bahkan pajak saat ini menjadi satu-satunya sumber penerimaan terbesar pembangunan bangsa, untuk kesejahteraan, bangsa. Seandainya negeri ini tidak ada pengemplang pajak, secara tidak langsung mau tidak mau kesejahteraan masyarakat miskin akan meningkat, atau jumlah penduduk miskin akan berkurang.

Andakah Pengemplang Pajak?


Selasa, 19 Januari 2010

Pajak Pertambahan Nilai

Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:

  1. Adanya penyerahan;

  2. Yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);

  3. Yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);

  4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;

  5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap barang yang dihasilkan.

Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:

  1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;

  2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;

  3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

  4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;

  5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;

  6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya;

  7. penyerahan secara konsinyasi.

Penyerahan yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah:

  1. penyerahan kepada Makelar;

  2. penyerahan untuk jaminan utang-piutang;

  3. penyerahan cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya yang telah mendapat izin pemusatan pembayaran pajak;

  4. penyerahan dalam rangka perubahan bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas barang kena pajak.

Barang kena pajak dimungkinkan berbentuk:

  1. Barang berwujud dan bergerak;

  2. Barang berwujud dan tidak bergerak;

  3. Barang tidak berwujud yang dimanfaatkan di Indonesia.

Barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian, barang hasil perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil peternakan; barang hasil perburuan; barang hasil penangkaran; barang hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar negeri, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri, yang melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil.

Daerah Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan tersebut harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya.

Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Kalau dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek Pajak Pertambahan Nilai yang dibahas adalah siapa yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Karakteristik

  • Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
  • Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
  • Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
  • Menghindari pengenaan pajak berganda.
  • Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran

Perkecualian

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:

Barang tidak kena PPN

  • Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
  1. Minyak mentah.
  2. Gas bumi.
  3. Panas bumi.
  4. Pasir dan kerikil.
  5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
  6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
  • Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
  • Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
  1. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
  2. Gilingan.
  3. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
  4. Beras pecah.
  5. Menir (groats) beras.
  • Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
  1. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
  2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
  3. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
  1. Empulur sagu.
  2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
  • Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
  • Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
  1. Garam meja.
  2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.

Jasa tidak kena PPN

  • Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
  1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
  2. Jasa dokter hewan.
  3. Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
  4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
  5. Jasa paramedis dan perawat.
  6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
  • Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
  1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
  2. Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
  3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
  4. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
  5. Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
  6. Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
  7. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
  • Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
  1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
  2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
  3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
  • Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
  1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
  2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
  3. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
  • Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
  1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
  2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
  • Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
  • Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
  • Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
  1. Jasa tenaga kerja.
  2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
  3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
  • Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
  1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
  2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

Minggu, 17 Januari 2010

Peraturan DJP Nomor Per-1/PJ/2010

Peraturan DJP Nomor Per-1/PJ/2010 yang merubah pasal 2 dan pasal 7 dari Per-19/PJ/2009 di anggap sangat tepat karena ketika Wajib Pajak melaporkan SPT (khususnya yang menggunakan e-SPT) awalnya sangat membingungkan. Karena ketika Wajib Pajak datang ke Kantor KPP dengan maksud melaporkan mesti di perbaiki kembali dengan ketentuan-ketentuan yang harus sama dengan SPT (karena dianggap tidak lengkap/atau tidak sesuai). Sehingga dengan adanya peraturan Per-1/PJ/2010 Wajib Pajak bisa lancar pada saat melaporkan SPTnya.

Peraturan DJP Nomor Per-1/PJ/2010 bisa klik di www.pajak.go.id

Rabu, 13 Januari 2010

Penghasilan yang dikenakan PPh final

Pengusaha Real Estate adalah pabrikan dari Barang Kena Pajak yang menurut sifat atau hukumnya adalah barang tidak bergerak berupa bangunan beserta ikutannya. Maksud dari ikutannya adalah bidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan, bidang tanah sebagai pekarangan bangunan, pagar pekarangan sekeliling bangunan dan saluran air/got/riol, sarana jalan, pipa ledeng, tiang, dan kabel listrik yang merupakan bagian kelengkapan bangunan tersebut.

(sekedar bagi-bagi informasi di kutip dari Blog Indonesia )

PPh Final Bagi Wajib Pajak Real Estate

.

SE- 80/PJ/2009

TENTANG

PELAKSANAAN PAJAK PENGHASILAN YANG BERSIFAT FINAL ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG USAHA POKOKNYA MELAKUKAN PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai pelaksanaan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estat), dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pembayaran PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh WP real estat dilakukan :

a. paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran,dalam hal pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran ;
b. sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang, dalam hal jumlah seluruh pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf a kurang dari jumlah bruto nilai pengalihan hak .

2. Nilai pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf b adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang .

3. Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31 Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang .

4. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan di cabang maka pembayaran PPh dan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut dapat dilakukan oleh cabang . Namun seluruh pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan di cabang harus dikonsolidasi oleh pusat dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh .

5. Dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak bekerja sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)IJoint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO .

6. Dalam hal PPh Final sebagaimana dimaksud dalam butir 5 telah dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama KSO atau salah satu anggota KSO maka SSP tersebut dipindahbukukan ke masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO .

7. Atas pelaksanaan aturan peralihan Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditegaskan hal-hal sebagai berikut :

a. Surat Keterangan Bebas (SKB) pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP Badan real estat) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) pengalihan hak (penjualan) atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 2009 ;
2) penghasilan atas pengalihan hak tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi ;
3) permohonan diajukan oleh WP Badan real estat yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan disertai lampiran berupa daftar tanah dan/atau bangunan sesuai format yang ditetapkan yang diisi dengan lengkap meliputi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli tanah dan/atau bangunan.

b. Sehubungan dengan nama dan NPWP pembeli yang tercantum dalam SKB sebagaimana dimakud pada huruf a, ditegaskan bahwa :
1) NPWP pembeli wajib dicantumkan dalam permohonan SKB, kecuali berdasarkan ketentuan perpajakan pembeli tersebut tidak wajib memiliki NPWP ;
2) nama pembeli yang tercantum dalam permohonan SKB adalah pembeli yang tercantum dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB) ;
3) dalam hal terjadi perubahan PPJB sehingga WP Badan real estat menerima atau memperoleh penghasilan dari perubahan PPJB tersebut, maka SKB hanya dapat diterbitkan apabila WP Badan real estat dapat membuktikan bahwa penghasilan dari perubahan PPJB tersebut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan dan Pajak Penghasilan atas penghasilan tersebut telah dilunasi .

Senin, 11 Januari 2010

Rekonsiliasi Fiskal

Akhir maret merupakan batas akhir para akuntan disibukkan dengan kegiatan penyusunan laporan keuangan tahun lalu (salah satunya tax). Hal yang perlu diketahui para akuntan adalah cara pengisian pada saat pengisian pajak adalah pemahaman tentang laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal. Karena masing-masing mempunyai tujuan tersendiri.
1) Laporan keuangan komersial ditunjukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditunjukkan untuk menghitung pajak; 2) untuk kepentingan komersial atau bisnis, laporan keuangan disusun berdasarkan prinsip yang berlaku umum, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK), sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan peraturan perpajakan (Undang-udang Pajak Penghasilan disingkat UU PPh).
Perbedaan tersebut sudah pasti hal tersebut mengakibatkan perbedaan penghitungan laba (rugi) suatu entitas (Wajib Pajak). Apabila suatu entitas (Wajib Pajak) harus menyusun dua laporan keuangan yang berbeda sudah dipastikan ada pemborosan seperti waktu, tenaga dan uang. Untuk mengatasi hal tersebut digunakan beberapa pendekatan dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, yaitu:
1) Laporan keuangan fiskal disusun secara beriringan dengan laporan keuangan komersial. Artinya, meskipun laporan keuangan komersial atau bisnis disusun berdasarkan prinsip akuntansi bisnis tetapi ketentuan perpajakan sangat dominan dalam mendasari proses penyusunan laporan keuangan.
2) Laporan keuangan ekstrakomtabel dengan laporan keuangan bisnis. Artinya, laporan keuangan fiskal merupakan produk tambahan, diluar laporan keuangan bisnis. Perusahaan bebas menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsip akuntansi bisnis. Laporan keuangan fiskal disusun secara terpisah diluar pembukuan (ekstrakomtabel) melalui penyusunan atau proses rekonsiliasi.
3) Laporan keuangan fiskal disusun dengan menyisipkan ketentuan-ketentuan pajak dalam laporan keuangan bisnis. Artinya, pembukuan yang diselenggarakan perusahaan didasarkan pada prinsip akuntansi bisnis, akan tetapi jika ada ketentuan perpajakan yang tidak sesuai dengan prinsip akuntansi bisnis maka yang diprioritaskan adalah ketentuan perpajakan.

Tentu hal tersebut di atas tidak bisa dipakai semuanya, akan tetapi ada satu poin yang bisa menjembatani adanya perbedaan tujuan kepentingan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal serta tercapainya tujuan efisien suatu entitas (Wajib Pajak) maka lebih dimungkinakan untuk menerapkan pendekatan yang kedua. Dimana perusahaan hanya menyelenggarakan pembukuan menurut akuntansi komersial, tetapi apabila akan menyusun laporan keuangan fiskal disusun rekonsiliasi terhadap laporan keuangan komersial.

waktunya isi SPT....

siapa yang mau di bantu cara mengisi SPT?